Scroll untuk baca artikel
BeritaPemerintahan

Puluhan Tahun Mengabdi, SK Datang Menjelang Pensiun: Kebijakan PPPK Dipertanyakan

×

Puluhan Tahun Mengabdi, SK Datang Menjelang Pensiun: Kebijakan PPPK Dipertanyakan

Sebarkan artikel ini
Rahwito mulai bekerja sebagai penjaga sekolah sejak 2003, berulang kali mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sejak 1989 kini menerima SK PPPK menjelang Pensiun

Bondowoso, BULETIN.CO.ID – Ribuan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bondowoso mengikuti penyerahan petikan Surat Keputusan (SK) di Alun-alun Ki Bagus Asra, Senin (29/12/2025).

‎Seragam Korpri, celana kain hitam, sepatu pantofel, dan kopiah hitam bagi peserta laki-laki tampak seragam. Namun di balik seremoni resmi itu, tersimpan ironi panjang tentang keterlambatan negara mengakui pengabdian para pekerja sektor publik.

Di antara 4.502 penerima SK, berdiri Moh Rahwito, penjaga sekolah SDN Pancoran 2.
Pada 2026, usianya genap 58 tahun. Artinya, ia hanya akan menikmati status PPPK paruh waktu selama sekitar enam bulan, sebelum memasuki masa pensiun pada 9 Juni 2026.

‎Rahwito tertawa bahagia menerima SK. Namun senyum itu menyimpan kisah getir puluhan tahun pengabdian yang baru diakui di ujung usia kerja.

‎“Ya kalau sudah waktunya,” ujarnya singkat, seolah pasrah pada sistem yang datang terlalu lambat.

‎Rahwito mulai bekerja sebagai penjaga sekolah sejak 2003. Jauh sebelum itu, ia telah berulang kali mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sejak 1989—di masa seleksi masih dilakukan secara manual, tanpa komputer. Setiap tahun ia mencoba, dan setiap tahun pula gagal.

“Selalu ikut, terakhir 2013,” katanya.

‎Ia baru kembali mengikuti seleksi pada 2024, kali ini sebagai peserta PPPK di Jember. Bukan karena harapan baru, melainkan karena kewajiban: namanya tercatat dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN), sehingga harus mengikuti seleksi.

‎Selama lebih dari dua dekade bekerja, Rahwito hidup dalam ketidakpastian. Ia menafkahi istri dan tiga anak dari pekerjaan yang awalnya bahkan tanpa gaji. Ketika honor mulai diberikan, nilainya hanya Rp50 ribu. Untuk bertahan, ia mencari pekerjaan sampingan—bertani, apa saja yang bisa dilakukan.

‎“Dulu awal gak ada gaji, pas naik jadi Rp50 ribu. Ya cari sampingan lain,” tuturnya.

Baru pada 2023 ia mulai menerima honor daerah, itu pun tanpa kejelasan besaran dan jaminan masa depan.

‎Kisah Rahwito bukan pengecualian. Ia justru menjadi potret kebijakan PPPK paruh waktu yang menuai kritik karena dinilai tidak menyentuh keadilan substantif. Negara seolah baru hadir saat tenaga dan usia para pengabdi nyaris habis.

‎Dari total 4.502 PPPK paruh waktu yang menerima SK, terdiri dari 3.308 jabatan teknis, 546 tenaga kesehatan, dan 648 tenaga guru. Ribuan angka itu bukan sekadar data administratif, melainkan ribuan cerita tentang pengabdian panjang yang dibalas dengan status sementara dan kesejahteraan yang belum pasti.

‎Seremoni penyerahan SK mungkin berakhir dengan tepuk tangan. Namun bagi banyak PPPK paruh waktu di Bondowoso, pertanyaan besarnya masih menggantung: mengapa pengabdian puluhan tahun hanya diakui secara setengah hati, dan baru diberikan ketika masa kerja hampir selesai?(Nang)

**) IIkuti berita terbaru BULETIN.CO.ID di Google News klik disini dan jangan lupa di follow.