Bondowoso, BULETIN.CO.ID – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kembali menuai keluhan warga. Di Desa Sumber Tengah, Kecamatan Binakal, Kabupaten Bondowoso, masyarakat mengaku harus membayar hingga Rp350 ribu per pemohon untuk mengurus sertifikat tanah—lebih dari dua kali lipat ketentuan resmi pemerintah.
Selama dua periode pelaksanaan, sebanyak 750 bidang tanah telah disertifikatkan. Namun di balik penyerahan sertifikat tersebut, persoalan klasik kembali mencuat: biaya PTSL di lapangan dinilai melampaui batas yang ditetapkan aturan.
Padahal, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri secara tegas membatasi biaya PTSL untuk wilayah Jawa–Bali maksimal Rp150 ribu per bidang tanah. Ketentuan ini dimaksudkan agar program legalisasi tanah tidak berubah menjadi beban baru bagi masyarakat, terutama warga berpenghasilan rendah.
Salah satu warga berinisial N mengungkapkan, pada awal pengurusan PTSL ia diminta membayar Rp150 ribu dengan alasan biaya pengukuran. Namun beberapa waktu kemudian, ia kembali diminta melunasi tambahan Rp200 ribu. Total biaya yang harus dibayar pun membengkak menjadi Rp350 ribu.
“Yang menagih itu perangkat desa, kepala dusun. Kalau di aturan jelas Rp150 ribu.
Kalaupun ada tambahan, tidak masuk akal sampai Rp200 ribu. Tambahannya saja sudah lebih dari seratus persen,” ujarnya dengan nada kesal, Selasa (30/12/2025).
Keluhan tersebut menambah daftar panjang persoalan PTSL di tingkat desa, di mana ketentuan nasional kerap tak sejalan dengan praktik di lapangan.
Sementara itu, Kepala Desa Sumber Tengah, Suryana, dikonfirmasi melalui pesan WhatsAppnya, Namun hingga berita ini ditulis, tidak ada tanggapan yang diberikan. Sikap bungkam tersebut justru memperbesar tanda tanya publik terkait dasar penarikan dan transparansi biaya PTSL di desanya.
BPN Akui Sertifikat Dibiayai Negara, Tambahan Diserahkan ke Desa
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran BPN Bondowoso, Slamet Soeraji, menegaskan bahwa seluruh tahapan utama penerbitan sertifikat PTSL—mulai pengumpulan data fisik, pengukuran, pengumuman data yuridis hingga terbitnya sertifikat—telah dibiayai oleh APBN melalui Kantor BPN.
Namun demikian, ia menyebut pemohon PTSL tidak sepenuhnya bebas dari biaya. Warga masih harus menanggung kebutuhan seperti patok batas tanah, materai, serta pengurusan dokumen tambahan apabila terdapat persoalan waris, hibah, atau kelengkapan administrasi lainnya.
“Biaya itu ditanggung sendiri oleh pemohon. Termasuk biaya operasional panitia di desa, sehingga kemudian muncul biaya tambahan,” jelasnya saat diwawancarai beberapa waktu lalu.
Ia mengakui SKB Tiga Menteri menetapkan batas maksimal Rp150 ribu untuk wilayah Jawa–Bali. Namun menurutnya, angka tersebut kerap dianggap tidak mencukupi kebutuhan operasional di lapangan. Karena itu, panitia atau kelompok masyarakat (Pokmas) di desa diperbolehkan melakukan musyawarah untuk menentukan tambahan biaya.
Tanpa Batas Jelas, Celah Pungutan Terbuka Lebar
Persoalan krusial muncul ketika ditanya soal batas maksimal biaya tambahan. Slamet mengaku tidak dapat memastikan karena setiap desa memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda.
“Saya tidak bisa menjawab itu. Karena di setiap daerah bisa berbeda-beda,” ujarnya.
Ia hanya menegaskan bahwa besaran tambahan biaya harus disepakati melalui musyawarah panitia atau Pokmas di tingkat desa.
Pernyataan tersebut menunjukkan lemahnya kontrol dalam pelaksanaan PTSL. Ketika aturan pusat menetapkan batas biaya yang jelas, namun tambahan biaya diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan desa tanpa standar dan pengawasan ketat, celah pungutan berlebih pun terbuka lebar.
Tanpa transparansi dan akuntabilitas, PTSL yang digadang-gadang sebagai program pro-rakyat berisiko terus menyisakan ironi: sertifikat tanah terbit, tetapi beban biaya justru jatuh ke pundak warga desa. (Nang)











