Jember, BULETIN.CO.ID – Deburan ombak di pantai watu ulo, desa sumber rejo, Kecamatan ambulu, kabupaten jember, tak hanya membawa aroma laut dan pasir basah, namun di balik tebing batu yang meliuk seperti sisik ular raksasa, tersimpan kisah tua tentang sosok naga yang diyakini menjadi asal mula nama “Watu Ulo.”
Ansori, saat ditemui awak media, penjaga pantai selatan watu ulo yang telah puluhan tahun mengabdikan diri menjaga situs tersebut, mengatakan,” bahwa legenda tentang naga ini telah hidup turun-temurun di masyarakat pesisir selatan jember. bagi warga, kisah ini bukan sekadar dongeng, melainkan warisan spiritual dan sejarah alam yang sarat makna.
“Konon, dulu di tempat ini hidup seekor Nogo Rojo (naga besar) yang datang dari lautan selatan. Ia naik ke daratan dan beristirahat di tepi pantai. entah karena apa, tubuhnya tiba tiba berubah menjadi Batu, itulah yang kini disebut Watu Ulo,” ujar Ansori Rabu (16/10/2025).
Diceritakan oleh Ansori, tubuh ular Nogo Rojo terpisah menjadi tiga bagian. Kepalanya terlempar ke daerah Pantai Grajagan Banyuwangi, sedangkan bagian tubuh nya berada di Pantai Watu Ulo Jember, sedangkan ekornya berada di Pacitan.
Menurut Ansori, sosok naga dalam legenda Watu Ulo bukan sekadar hewan mitologis, melainkan makhluk gaib penjaga keseimbangan alam. Dalam kepercayaan lokal, naga itu merupakan jelmaan pengikut penguasa Laut Selatan, yang ditugaskan menjaga batas antara dunia darat dan lautan.
“Ia bukan makhluk nyata seperti hewan biasa, tapi juga bukan sekadar simbol. Ia jelmaan makhluk gaib yang punya tugas menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Kalau laut marah, katanya itu tanda sang naga bergerak,” jelasnya.
Kini, legenda tersebut bukan hanya menjadi cerita mistis, tetapi juga menjadi identitas budaya sekaligus daya tarik wisata Kabupaten Jember. setiap tahun, masyarakat menggelar upacara larung sesaji di pantai watu ulo sebagai bentuk penghormatan terhadap penjaga laut dan simbol keseimbangan alam itu.
“Kita tidak menyembah naga, tapi menghormati maknanya. Ia simbol alam yang harus dijaga. Kalau manusia serakah, laut bisa murka,” pesan Ansori.
Sebagai penjaga pantai yang telah bertugas selama 26 tahun, Ansori mengaku bukan seorang juru kunci, melainkan relawan yang mengawasi keamanan situs. Ia kerap mendapat firasat saat bahaya mengintai, terutama jika ada pengunjung yang nekat berenang di titik rawan.
“Selama saya menjaga di sini, tidak pernah ada kecelakaan besar. entitas spiritual di watu ulo sudah berjanji melindungi pantai ini dari gelombang besar atau tsunami,” katanya meyakinkan.
watu ulo tambah Ansori, diyakini bisa bergoyang jika didekati oleh orang yang memiliki kelebihan batin. Selain itu, juga keberadaan sebuah sumur tua yang disebut sebagai pintu masuk menuju keraton Nyi Roro Kidul. Ansori bahkan mengaku pernah melihat bangunan batu yang tertata rapi di lokasi tersebut pada tahun 1999.
Siti selaku koordinator Watu Ulo, menambahkan bahwa mitos lama seperti larangan memakai baju berwarna merah atau hijau kini sudah jarang dipercaya. banyak pengunjung datang dengan pakaian berwarna apapun tanpa masalah.
“Itu dulu hanya mitos. sekarang masyarakat lebih terbuka, datang ke sini untuk menikmati keindahan alam, bukan takut pada pantangan,” ujarnya.
Menurut Siti, batu panjang yang membentang dari selatan ke utara itu dulunya terlihat sangat jelas hingga ke area jalan. Namun kini sebagian tertutup pasir akibat terpaan angin dan ombak sejak puluhan tahun lalu.
Sementara itu, Yayuk Yohanes, pengunjung asal Dusun Karang Anyar, Desa Balung Lor, Kecamatan Balung, mengaku sering datang bersama suaminya, Eko, untuk menikmati suasana laut di Watu Ulo.
“Sebulan bisa dua sampai tiga kali ke sini. Panorama alamnya indah dan suasananya menenangkan,” katanya sambil tersenyum.
Bagi masyarakat Sumberrejo dan Ambulu, batu yang meliuk di pesisir bukan sekadar batu, melainkan jejak kepercayaan yang menghubungkan manusia, alam, dan dunia gaib, warisan lisan yang terus dijaga oleh para sesepuh pantai selatan.