Bondowoso, BULETIN.CO.ID – Tiga kali Banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Ijen, Kabupaten Bondowoso, banjir pertama terjadi pada 29 Januari dan 14 Maret 2020, dan terbaru yakni 12 Februari 2023 kemarin.
Pantauan awak media, wilayah terdampak banjir bandang tetap terjadi di desa yang sama. Yaitu, Desa Kalisat, dan Desa Sempol. Dengan material banjir berupa lumpur disertai dengan ranting-ranting pohon yang merusak ratusan rumah.
Dikutip dalam wawancaranya dengan media pada tahun 2020, aktivis lingkungan Hijau Madani, Eko Setia Budi, menyebut bahwa kejadian banjir bandang ini terjadi diduga karena adanya alih fungsi lahan.
Ia menerangkan bahwa banjir bandang yang terjadi merupakan bukti bahwa pengrusakan alam mengecam keselamatan warga. Meski tidak memakan korban jiwa setidaknya menjadi pelajaran agar banjir yang lebih besar tak terjadi.
Pada 1 Maret 2020 juga sudah dilaksanakan serangan reboisasi yang diprakarsai oleh 80 komunitas dan dikomando langsung oleh Komandan Kodim 0822 kala itu. Namun memang pada 14 Maret kembali lagi terjadi banjir bandang di Kecamatan Ijen.
Sekitar tiga tahun atau tahun 2023 ini, banjir bandang kembali terjadi. Banjir sekarang disebut terjadi karena adanya longsor di 14 titik yang disebabkan oleh hujan deras dengan intensitas tinggi yang terjadi di wilayah itu.
Sebagaimana disampaikan oleh Komandan Satgas Bencana, Letkol Inf Suhendra, mengatakan, berdasarkan pantauan kamera drone yakni terjadi longsor di 14 titik akibat tingginya curah hujan.
“Dan ini dikhawatirkan bila curah hujan tinggi akan membawa material-material ini,” paparnya.
Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Wahyu Eka, mengatakan, dengan situasi cuaca ekstrem sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim ini. Memang sangat berpengaruh dengan meningkatnya intensitas bencana. Utamanya bencana hidro meteorologi.
Namun yang terjadi di wilayah Kecamatan Ijen, kondisi ini diperparah dengan kondisi di hulu yang mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Jika melihat dari Google Earth, saat melihat kondisi 10 tahun terakhir, terlihat mana hutan yang masih baik dan tidak.
Ketika pihaknya melihat, kondisi terakhir hutan memang tidak serapat dulu. Artinya ada perubahan. Dan dugannya memang karena adanya alih fungsi.
“Sehingga daya dukung dan daya tampung sudah tidak mampu menampung limpasan air hujan. Sehingga airnya turun, dan run off,” terangnya.
Melihat itu, makanya kejadian banjir terus menerus berulang. Seharusnya, kata Wahyu, stakeholder terkait, utamanya dari level pemerintah provinsi, kabupaten, Perhutani dan lintas terkait. Memang harus ada kesamaan misi untuk menyelamatkan kawasan.
Tawarannya memang salah satunya yakni, Pemprov dan Pemkab harus melakukan assesment wilayah berbasis sosial ekonomi. Yakni, melihat mengapa terjadi perubahan kawasan, alih fungsi lahan, peta aktor, perubahan ekonomi dan regulasi.
“Asesment ini nantinya akan menjadi sebuah pertimbangan ketika mengambil kebijakan,” katanya.
Ia mencontohkan, jika hasil assesment menunjukkan hasil yang berkaitan dengan masyarakat. Maka, nantinya diikuti dengan melihat alasan masyarakat hingga bertindak ke sana. Ini menunjukkan kaitannya dengan faktor ekonomi.
Sehingga, nantinya jika menghijaukan wilayah itu, tak serta merta menghijaukan saja. Tapi juga harus membuat program terencana yang jangka panjang dan terukur.
Bukan sekedar mitigasi dan adaptasi saja yang selama digaungkan. Tapi benar-benar mitigasi dan adaptasi yang punya visi panjang.
“Salah satu tawarannya adalah, asesment ini akan didorong pada penanggulangan bencana berbasis solusi berbasis alam. Itu yang memang didorongkan,” pungkasnya.(Nang)